Apa yang sebenarnya dibutuhkan guru peserta PLPG di lapangan? Apakah guru memerlukan pencerahan materi, pembuatan perangkat pembelajaran, atau praktik mengajar? Bukankah peserta PLPG pada periode awal PLPG adalah guru-guru yang tergolong senior, yang notabene telah memiliki kemampuan mengajar yang tidak diragukan? Apakah guru-guru pada waktu itu belum pula memiliki kemampuan menyusun perangkat pembelajaran?
www.unesa.ac.id
Rasanya kita dapat menjawabnya tanpa melalui studi pendahuluan (penelitian). Dari sini kita dapat memastikan bahwa porsi waktu 33% untuk peer-teaching sangatlah berlebih. Begitu pula halnya dengan alokasi untuk workshop penyusunan perangkat pembelajaran. Menurut saya, yang diperlukan guru pada waktu itu adalah pendalam materi, terutama tentang beberapa konsep yang masih dipahami secara keliru oleh guru. Hal itu diperkuat oleh hasil tes akhir peserta PLPG. Hampir dapat dipastikan bahwa kelemahan para guru peserta PLPG, yang dibuktikan dengan skor yang rendah, terletak pada penguasaan materi ajar. Potret itu berlangsung terus-menerus, yang tampaknya berskala nasional karena juga terjadi di seluruh LPTK penyelenggara PLPG. Mengapa kita melakukan pekerjaan seperti Sisyphus? Bukankah itu kemudian menjadi pekerjaan yang sia-sia belaka? Sukakah kita seperti keledai dalam pepatah hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali?
Dari tahun ke tahun kita mengetahui bahwa karakteristik peserta PLPG selalu berubah. Pada periode akhir ini dapat diprediksikan bahwa pesertanya adalah guru-guru muda, yang tentu pengalaman mengajarnya belum terlalu dapat diandalkan. Mereka pada umumnya adalah para guru yang memiliki kemampuan akademis lebih baik sebab mereka pada umumnya lulusan sarjana pada era yang memiliki tingkat kompetisi yang tinggi dan bahkan ada di antara mereka yang telah lulus atau sedang menempuh pendidikan S-2. Mereka itulah yang masih memerlukan bimbingan dalam mengelola pembelajaran di kelas. Karena itu, porsi workshop penyiapan perangkat pembelajaran dan peer-teaching, yang belakangan berkurang porsinya harus ditinjau kembali.
Dari sisi pelaksanaannya, saya melihat ada celah yang dapat kita lakukan dengan dugaan hasil yang lebih optimal. Selama ini porsi waktu PLPG yang 90 jam diselenggarakan dengan sistem blok. Target produk kegiatan ini luar biasa banyaknya sehingga banyak peserta yang ‘stress’ dan akibatnya kualitas target disangsikan. Dapatkah pola penyelenggaraannya dimodifikasi? Unesa telah memiliki pengalaman mengelola continuing education (CE) lebih dari lima tahun, yang menangani peningkatan kualitas guru melalui pelatihan semirip PLPG. CE tidak dilakukan secara blok waktu. CE dirancang mirip dengan pengelolaan perkuliahan dengan jadwal bersiklus mingguan. Strategi ini dipandang lebih manusiawi dan memiliki manfaat yang lebih baik karena peserta CE dapat melakukan pengendapan materi dan menyelesaikan tugas yang ditargetkan dengan rentang waktu yang lebih longgar. Jika kita mau menggabungkan sistem blok waktu dengan siklus mingguan, dapat kita memolakan kegiatan PLPG dalam tiga blok waktu bersiklus, misalnya tiga hari untuk setiap blok waktu. Antarblok waktu dapat berselang sembilan hari sehingga dapat digambarkan begini. Pada 3 hari pertama PLPG dikenakan pada kelompok A, 3 hari kedua kelompok B, dan 3 hari berikutnya kelompok C. Pada hari ke-10 hingga ke-12 kembali kelompok A memasuki siklus kedua dan siklus ketiga bagi kelompok A dilaksanakan pada hari ke-19—21. Cara ini dapat dilakukan untuk mengatasi kurangnya porsi waktu bila dibandingkan dengan target sasaran yang ditetapkan. Memang, dengan cara ini pengelolaannya sedikit lebih sulit. Saya yakin kita pasti bisa. Semoga. (*)
Share It On: