Sri Wahyaningsih, pendiri Sanggar Anak Alam Yogyakarta (SALAM). (Foto: Dicapture dari YouTube Good News From Indonesia).
Unesa.ac.id, SURABAYA—Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UNESA menggelar webinar dengan tema “Belajar dari Peristiwa: Perspektif Kritis dalam Pembelajaran yang Humanis” pada Jumat, 13 September 2024.
Acara yang dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting dan live Youtube Channel Official UNESA ini menghadirkan dua narasumber utama, yaitu Sri Wahyaningsih, pendiri SALAM (Sanggar Anak Alam Yogyakarta), dan Rivo Nugroho dosen UNESA.
Dalam webinar tersebut, Sri Wahyaningsih mengangkat model pembelajaran SALAM yang berbeda dengan pendidikan formal pada umumnya. Pendidikan konvensional sering kali menitikberatkan pada peningkatan kemampuan akademis yang seragam, dengan ujian berorientasi pada angka sebagai tolok ukur keberhasilan.
Namun, SALAM di Nitiprayan, Yogyakarta, menghadirkan konsep pendidikan yang berbeda. Anak-anak di sekolah ini bebas melakukan aktivitas yang disukai tanpa dibebani oleh mata pelajaran maupun ujian.
“Kami di SALAM percaya bahwa sekolah bukanlah penjara. Setiap individu memiliki kecenderungan yang berbeda-beda, dan pendekatan penyeragaman dalam pendidikan justru menghambat kreativitas,” ungkapnya.
Model pembelajaran di SALAM tidak pada hafalan, tetapi lebih mengutamakan siswa untuk menemukan pengetahuan secara mandiri. Dengan mengajarkan cara berpikir terstruktur, siswa di SALAM dilatih untuk menelusuri sebab-akibat serta merancang pengamatan berbasis data dan fakta.
Dosen UNESA, Rivo Nugroho menyoroti berbagai tantangan pendidikan dan upaya peningkatan kualitas pendidikan ke depan.
Lebih lanjut, pendiri sanggar tersebut menegaskan bahwa prinsip pendidikan di SALAM adalah “Pendidikan yang Memerdekakan, Memanusiakan Manusia, Kontekstual dengan Lingkungan, dan Selaras dengan Alam.” Pembelajaran ini mengajak siswa untuk belajar dari peristiwa di sekitar mereka, menjadikan lingkungan sebagai ruang belajar yang kaya akan pengalaman.
Sementara itu, Rivo Nugroho memaparkan berbagai permasalahan pendidikan di Indonesia melalui kajian empiris. Indonesia masih menghadapi banyak tantangan dalam sektor ini, terutama terkait dengan akses yang tidak merata di berbagai daerah.
“Di banyak wilayah terpencil, fasilitas pendidikan sangat terbatas, dan tenaga pendidik pun masih kurang. Hal ini berimbas pada rendahnya angka partisipasi sekolah, terutama di daerah pedesaan,” ujarnya.
Salah satu indikator dari rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah posisi Indonesia yang terus berada di peringkat bawah dalam tes PISA (Program for International Student Assessment) untuk literasi, sains, dan matematika. “Selain itu, masalah infrastruktur seperti keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan di daerah terpencil semakin memperparah ketimpangan pendidikan,” tambahnya.
Namun, ia juga menjelaskan beberapa upaya pemerintah dalam mengatasi masalah-masalah ini, seperti program wajib belajar 12 tahun, revolusi pendidikan 4.0, serta peningkatan kualitas guru melalui pelatihan dan pengembangan profesional. "Pemerintah sudah memulai langkah-langkah positif, tetapi masih ada banyak yang harus diperbaiki," ucapnya.
Ia mengajukan sejumlah solusi dan rekomendasi, di antaranya penguatan kebijakan pendidikan yang lebih inklusif, pengembangan infrastruktur di daerah terpencil, inovasi dalam teknologi pendidikan, serta pemberian beasiswa dan bantuan bagi siswa yang kurang mampu.
Webinar ini tidak hanya memberikan wawasan tentang model pendidikan yang lebih humanis, tetapi juga mengungkap berbagai tantangan dan solusi yang perlu dihadapi bersama untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.[]
***
Reporter: Prismacintya (FBS)
Editor: @zam*
Foto: Tim HUMAS UNESA
Share It On: